15 mnit awal ...
Prof : " Ini adlh DNA vektor bla.. Bla.. Bla.."
Prof : " Kmudian mcam2 vktor &sfatnya.. Bla... Bla.."
Prof : sehingga DNA vktor prokariot msuk ke eukariot mbtuhkan blaa.. Bla.. %&X@¤¿§#?!#*
BAB
IV
Gantigugus
Nukleofil pada Atom Karbon Jenuh
Pengertian nukleofilik
Pada kimia organik maupun anorganik, substitusi
nukleofilik adalah suatu kelompok dasar reaksi substitusi, dimana sebuah nukleofil yang "kaya" elektron, secara selektif
berikatan dengan atau menyerang muatan positif dari sebuahgugus kimia atau atom yang disebut gugus
lepas (leaving
group).
Bentuk umum reaksi ini adalah
Nu: + R-X → R-Nu + X:
Dengan Nu menandakan nukleofil, : menandakan
pasangan elektron, serta R-X menandakan substrat dengan gugus pergi X. Pada
reaksi tersebut, pasangan elektron dari nukleofil menyerang substrat membentuk
ikatan baru, sementara gugus pergi melepaskan diri bersama dengan sepasang
elektron. Produk utamanya adalah R-Nu. Nukleofil dapat memiliki muatan listrik negatif ataupun netral, sedangkan substrat biasanya
netral atau bermuatan positif.Contoh substitusi nukleofilik adalah hidrolisis alkil bromida, R-Br, pada kondisi basa, dimana nukleofilnya adalah OH−dan gugus perginya adalah Br-.
R-Br + OH− →
R-OH + Br−
Reaksi substitusi nukleofilik sangat
umum dijumpai pada kimia organik, dan reaksi-reaksi ini dapat dikelompokkan
sebagai reaksi yang terjadi pada karbon alifatik, atau pada karbon aromatik atau karbon tak jenuh lainnya
(lebih jarang). Menurut kinetikanya, reaksi substitusi nukleofilik dapat dikelompokkan menjadi
reaksi SN1 dan SN2.
Jenis reaksi kimia organic yang paling banyak dikaji
secara terperinci adalah pengganti gugusan (subsitusi ) nukleofil pada atom
karbon jenuh : reaksi pemindah gugusan klasik sebagaimana pada contoh
penggantian alkil halide menjadi suatu alcohol
Pengukuran kinetika atas reaksi-reaksi dengan
penyerangan alkil halide oleh berbagai zat nukleofil yang berbeda, yaitu bahwa
Nu dengan adanya 2 macam kinetika yang telah dibuktikan sebagai berikut :
Sedangkan laju yang lain :
Dengan demikian, lajunya tidak bergantung pada
pekatnya Nu. Namun. Dalam beberapa hal laju reaksi ternyata campuran atau agak
rumit tetapi tidak jarang yang mengikuti
kaidah laju reaksi diatas
4.1 KAITAN
KINETIKA DENGAN MEKANISME
Hidrolisis halide primer bromometana ( metil bromide
) dalam basa berair. Terlibatnya alkil halide maupun ion hidroksil dalam tahap
reaksi penentu laju reaksinya. Jadi, sebagian energi yang diperlukan untuk
mengakibatkan putusnya ikatan C-Br kemudian diisi dengan energy yang terbentuk
saat terjadinya ikatan HO-C.
Perhitungan secara mekanika kuantum menunjukkan
bahwa mendekatnya ion hidroksil sepanjang garis pusat atom karbon dan brom
memerlukan energi minimum. Atom karbon yang semula terhibridisasi sp3 kemudian
menjadi terhibridisasi sp2 dalam keadaan peralihan (KP) HO dan Br akan bergabung
dengan kedua cuping orbital p yang
tak terhibridisasi. Jenis mekanisme seperti ini dinamakan SN2 ( penggantian nukleofil 2 molekul )
Jenis
mekanisme seperti ini dinamakan SN1
yaitu penggantian nukleofil ekamolekul. Energi yang diperlukan untuk
melangsungkan pengionan awal didapat kembali pada energi yang dihasilkan dari
solvasi pasangan ion. Untuk proses disosiatif yang dibutuhkan entropi
pengaktifan yang menguntungkan sehingga S untuk menghidrolisis
Me3CCl menjadi + 51 JK-1 mol-1 lebih baik
daripada dibandingkan menghidrolisis CH3Cl yaitu -17 JK-1
mol-1. Jadi perbedaan penting antara lintasan reaksi SN2 dan SN1 yakni Untuk SN2
hanya proses dalam satu tahap lewat keadaan peralihan, sedangkan SN1 proses dalam dua tahap
lewat zat antara karbokation.
Derajat
reaksi adalah suatu besaran yang ditentukan secara eksperimen. Keseluruhan
derajat suatu reaksi merupakan jumlah pangkat kepekatan-kepekatan yang ada pada
persamaan laju reaksi seperti berikut ini :
Pada umumnya yang diperhatikan adalah orde/derajat
reaksi terhadap suatu pereaksi tertentu (atau pereaksi-pereaksi) yang berperan,
daripada derajat keseluruhannya. Kemolekulan suatu reaksi sebagai keseluruhan
hanya akan berarti jika reaksi brerlangsung dalam satu tahap (reaksi
elementer/dasar)
Jika pelarut dapat bertindak sebagai nukleofil,
misalnya H2O tersebut prosesnya dapat mengikuti mekanisme SN2 yaitu :
Tetapi karena konsentrasi H2O
secara nisbi jumlahnya tetap, maka persamaan laju yang dapat teramati adalah :
4.2 PENGARUH PELARUT
Pengubahan
pelarut pada saat dilangsungkannya reaksi sering kali memberikan pengaruh
terhadap laju reaksinya, bahkan dapat pula mengubah mekanisme reaksinya. Contoh
: suatu halida yang mengalami hidrolisis dengan jenis mekanisme SN1,
jika pengaruh polaritas pelarutnya ditingkatkan ( yakni tetapan dieletriknya
diperbesar ) maka laju reaksi akan sangat dipercepat.
Akan tetapi bagi jenis SN2,
peningkatan sifat pengutuban pelarut jauh lebih kecil pengaruhnya, sehingga
laju reaksi hanya turun sedikit. Hal ini terjadi seperti halnya pada reaksi
dibawah ini, karena terbentuknya muatan baru dan muatan yang ada menyebar pada
KP
Dengan demikian,
solvasi KP agak kurang berhasil daripada nukleofil semula, jadi terjadi sedikit
penurunan.
4.3 PENGARUHSTRUKTUR
Suatu urutan yang
menarik diperoleh pada reaksi deretan halide terhadap basa :
Dengan demikian,
bromometana dan bromoetena mengikuti kombinasi persamaan laju reaksi kedua dan
pertama dengan kesebandingan nisbi bergantung pada OH awalnya (makin tinggi
kepekatan awal, makin besar bagian derajat keduanya ) dan laju keseluruhan
minimum. Sedangkan 2-Bromo-2-metilpropana ternyata mengikuti persamaan laju
derajat pertama.
Ini merupakan urutan halide analog yang sama seperti gambar
sebelumnya. Pada keadaan demikian persamaan laju orde kedua (lintasan SN2) pasti dilewati.
Pada urutan halide diatas, terjadi peningkatan kemantapan
karbokation yakni dengan bertambah cepat terbentuknya KP. Peningkatan
kemantapan ini akibat pengaruh gejala induktif.
Dan juga berpengaruh hiperkonjugasi :
Dukungan atas antaraksi H-C dengan atom yang
mengandung muatan positif diperoleh dengan mengganti gugus H dengan D pada
semula, sehingga laju pembentukan pasangan ionnya diperlambat 10 % untuk setiap
atom deuterium yang masuk. Hal ini sesuai dengan ikatan H-C yang terlibat dalam
pengionan dan lazim disebut gejala
isotope kinetic sekunder, sekunder karena yang diputus adalah ikatan selain
yang mengikat tanda isotop.
Jadi seperti yang diperkirakan ,
urutan laju SN2 menurun dan
laju SN1 meningkat ,
bersilang bseperti gambar 4.1. sehingga beralasan untuk mengamati pola laju
reaksi dan perubahan dalam jejak reaksi.
Perubahan mekanistik serupa juga
teramati, meskipun berlangsung lebih cepat, dalamm mengikuti sebagai berikut :
CH3Cl
─ Cl C6H5CH2
─ Cl (C6H5)2CH ─ Cl (C6H5)3C ─ Cl
(9) (10) (11) (12)
Dengan
demikian, untuk hidrolisis dalam aseton 50% berair, teramati suatu persamaan
laju yang merupakan kombinasi derajat pertama dan kedua bagi fenilkhlorometana
(benzil khlorida, 10) ─ berubah secara hamper sempurna ke jenis SN1
dalam air saja. Difenilkhlorometana (11) ternyata mengikuti persamaan laju
derajat pertama (satu) dengan peningkatan yang hebat pada laju reaksi
keseluruhan , sedangkan trifenilkhlorometana (tritil khlorida ,12) sedemikian mengionnya sehingga
senyawanya dapat menunjukkan hantaran listrik jika dimasukkan dalam SO2
cair . Penyebab utama peningkatan pengionan yang lebih besar ─ dengan
akibat perubahan lebih dulu kelangkah SN1 di antara deretan tadi
merupakan pemantapan kerbokation oleh delokalisasi muatan positifnya terjadi :
Hal
ini merupakan contoh klasik suatu ion yang termantapkan oleh delokalisasi
muatan lewat dukungan orbital-orbital
π terdelokalisasi pada inti benzene (bdk, ion fenoksida bermuatan
negative, hlm 31). Pengaruhnya makin terasa dan serangan SN1 dalam (C6H5)2CHCl
dan (C6H5)3CCl (12) lebih bermudah begitu
kemungkinan delokalisasi muatan positif pada karbokation-karbokation yang dapat
diperoleh dari halida-halida ini diperbesar.
Serangan SN2 terhadap CH2 dalam (10) ternyata berjalan
dengan laju yang sama sebagaimana terjadi pada MeCH2Cl . ssehingga
memberi kesan bahwa setiap
kepenuhsesakan sterik yang merugukan dalam KP oleh gugus C6H5 yang
berdesakan , akan diimbagi oleh pengaruh listrik (imbasan ?) yang kecil yang
melibatkan reaksi
Pemantapan karbokation serupa juga berlangsung pada alil halida , misalnya
3-khloropropena :
Serangan
SN1 meningkat dan alil ,
sebagaimana benzil , halida biasanya lebih reaktif jika dibandingkan misalnya
dengan jeisnya , misalnya CH3CH2CH2Cl dan C6H5CH2CH2Cl
yang pemantapan karbokationnya mustahil terjadi. Serangan SN2 juga
dipercepat , dibandingkan dengan CH3CH2CH2Cl ,
diduga karena setiap pengaruh listrik
dari ikatan rangkap ─ yang akan mempercepat reaksi ─ tidak dihilangkan oleh pengaruh
sterik ynag merugikan , seperti halnya gugus C6H5 yang
berdesakan dalam C6H5CH2Cl (bdk diatas ). Kesebandingan reaksi
keseluruhan yang berlangsung dengan setiap dari dua lintasan seperti tersebut
diatas ternyata bergantung pada keadaan : nukleofil-nukleofil yang kuat akan
meningkatkan jenis SN2 (bdk hlm 127).
Sebaliknya , vinil halida misalnya
khloroetana , CH2═CHCl dan halogenobenzena sangat tidak
reaktifterhadap nukleofil . Hal ini disebabkan atom halogennya kini terikat
pada karbon hibrida sp2 sehingga
mengakibatkan tertariknya pasangan electron ikatan C─Cl lebih dekat ke
karbon daripada ikatan ke karbon hibrida sp3
. ternyata C─Cl lebih
kuat sehingga sukar diputuskan , misalnya dibandingkan dengan CH3CH2Cl
, samping itu dwikutub C─Cl pun
lebih kecil ; oleh karenanya kecenderungan mengion turun (SN1) dan karbon possitif yang dapat diserang pun
lebih sedikit ; elekton-elektron ikatan rangkap juga akan menghalangi
pendekatan nukleofil sebagai penyerang . ikatan rangkap tidak akan memantapkan
baik keadaan peralihan SN2
maupun karbokation yang terlibat dalam jejak SN1-nya . bahasan serupa juga berlaku bagi
halogenobenzena dengan karbon hibrida sp2-nya
serta system orbital π dalam inti benzena . Reaksi-reaksinya, yang
meskipun dwimolekul tetapi tidak begitu saja menambil jejak SN2 , akan diuraikan secara
lebih terperinnci .
Pengaruh – pengaruh factor sterik
pada jejak reaksi teramati jika pengantigugusan terjadi pada posisi β.
Jadi bagi deretan ini :
CH3 ─ CH2 ─
Br MeCH2 ─ CH2 ─
Br MeCH
─ CH2 ─ Br
MeC ─ CH2 ─ Br
(6) 1.0 (13) 2.8 x 10-1 (14) 3.0 x 10-2 (15) 4.2 x 10-6
Angka
yang tercantum merupakan laju nisbi reaksi (semua SN2) dengan dalam EtOH
pada
550 . perbedaan pengaruh
elektronik gugus-gugus Me lewat dua atom karbon jenuh akan sangat kecil dan alasn
tentang perbedaan lajunya yang semata-mata merupakan pengaruh sterik : makin
sukar “
dari balik punggung “ karbon yang mengikat Br agar mendekat serta makin penuh
KP yang terhasil. Penyebab merosotnya laju antara 1-bromo-2-metilpropana (14)
dengan 1-bromo-2,2-dimetilpropana (neopentil bromide ;15) adalah karena KP
untuk yang terdahulu penuh, sehingga dengan putaran berxumbu ikatan Cα
─ Cβ dapat mengambil konformasi (14a) yang hanya
memungkinkan serangan terganggu oleh H saja sedangkan bagi yang terakhir
hampir-hamppir tidak ada pelonggaran semacam itu pada KP-nya (15a) (tetapi
lihat juga hlm .146).
KP
(15a) akan terdapat pada energi yang jauh llebih tinggi ∆G‡
(hlm
49) yang lebih besar sehingga laju reaksinya pun turun.
Pengaruh struktur atas kereaktifan
nisbi terlihat jelas sekali jika suatu atom halogen diletakkan pada titik
jembatan suatu system dwilingkar (bisiklik)
. ternyata laju solvolisis dalam etanol 80% berair pada 25o-nya
adalah :
(8) (16) (17)
1 ≈ 10-6 ≈ 10-14
Semuanya
merupakan halida tersier sehingga seranggan dengan jenis SN2 tidak diharapkan terjadi atas (16 ) atau (17)
meskipun berlangsung atas (8). Serangan SN2
“ dari balik punggung” (dari belakang) atom karbon pada (16) dan (17) yang
mengikat Br akan terhalang baik secara sterik karena struktur yang mirip
sangkar dan jugan karena mustahilnya mengubah-ubah bentuk kaku dari kerangka
tatanan ikatan menyebidang atas atom, karbon yang berfungsi sebagai titik
lompatan sebagaimana diperlukan olej KP-nya. Solvolisis lewat pembentukan
pasangan ion yang menentukan laju (SN1)
, seperti yang terjadi pada (8) juga dihalangi karena karbokation yang
terbebtuk dari (16) dan (17) kerangkanya kaku , sehingga tidak sanggup
memantapkan diri dengan perombakan menjadi bentuk menyebidang . Zat antara
karbokationnya jelas berada dalam dalam keadaan dimana energinya jauh lebih
tinggi daripada biasanya sehingga pembentukannya amat pelan dan sukar. Laju
solvolisis (17) yang jauh lebih kecil dibandingkan (16) dapat mencerminkan
lebih kakunya karbon titik jembatan (kationik) yang memiliki satu-karbon (karbon tunggal ;17) daripada jika
berjembatan dua-karbon (16).
Keadaan
kaku itu juga terlihat pada 1-bromotriptisena (19) yang atom bromya
hampir-hampir lembam (inert) sempurna terhadap nukleofil.
(18) (19)
1 10-23
Meskipun
tampaknya terdapat kemiripan formal dalam lingkungan atom brom pada (18) dan
(19) , tetapi ternyata laju reaksi kedua senyawa itu dalam keadaan yang mirip
berbeda jauh , yaitu ditunjukkan dengan factor ≈ 10-23:1
. Hal ini karena pemantapan karbokation dari (18) dapat terjadi oleh
delokalisasi muatannya yang melalui system orbital π pada ketiga
cincin-benzena, sedangkan pada (19) yang strukturnya sangat kaku akan menarik
semua kation hampa orbital (karena lepasnya Br- ) tetapi pada sudut
yang tegak lurus terhadap system orbital π ini, sehingga mencegah
delokalisasi.
4.4 DAMPAK STEREOKIMIA TERHADAP
MEKANISME
Hidrolisis
dari suatu bentuk aktif optic senyawa halida khiral* menujukkan bebarapa peristiwa stereokimia yang
amat menarik . Hal ini dipelajari dengan menyimak tiap jejak secara berurutan:
4.4.1 Mekanisme SN2 : pembalikan konfigurasi
Dalam
hal ini tatanan ruang ketiga gugus yang terikat pada atom karbon yang diserang terbalikkan
secara berhasilguna. Atom karbonnya dikatakan telah mengalami pembalikan konfigurasi (tatanan
ruang gugus-gugus yang tertaut padanya).
Memang , jika yang dihasilkan sbromida - tidak seperti disini alkohol –
maka ia akan memutar bidang pengutuban
(polarisasi) cahaya mengutub pada arah yang berlawanan , yaitu (-) terhadap
bahan semula ;(+) karena merupakan bayangan cermin saru sama lain . sayang,
hasil sebenarnya merupakan alkohol sehingga kalu hanya dengan mengamati arah
putaran optik saja, orang tak akan dapat menentukan konfigurasinya itu sama
atau berlawanan terhadap bromide awalnya. Senyawa yang bukan bayangan cermin
dan berkonfigurasi berlawanan tidak selalu menunjukkan arah perputaran optic
yang berlawanan juga, sedangkan yang berkonfigurasi sama tidak selalu berarah
putar optic sama pula . Jadi untuk memeastikkan dan mengukuhkan bahwa
reaksi SN2 diatas , yang dalam praktek , diikuti oleh suatu
pembalikkan konhfigurasi , seperti dituntut teori , perlu juga dilakukan
cara-cara yang tak saling tergantung untuk menaitkan konfigurasi bahan semula
dengan hasil/produk yaitu bromida dan alkohol yang bersangkutan dalam soal
diatas.
4.4.2 Penentuan konfigurasi nisbi
Pada
dasarnya masalah disini adalah bahwa jika suatu senyawa khiral mengalami reaksi
yang mengakibatkan pemutusan ikatan penghubung salah satu gugus kepusat khiral,
maka pusat itu dapat (meskipun tidak selalu), mengalami pembalikan konfigurasi
; sedang jika senyawa mengalami reaksi tanpa pemutusan ikatan semacam itu,pusat
khiralnya akan tetap berkonfigurasi sperti semula.Jadi dalam deretan reaksi
pada alkohol optik aktif (+) (20) ,pembentukkan suatu ester dengan
4-metilbenzenasulfonil (tosil) khlorida ternyata tidak akan
memutuskan
ikatan C─O alkoholnya* sehingga tosilat (21) dapat memiliki
konfigurasi serupa dengan alkohol semula. Reaksi ester ini (21) dengan tersingkir merupakan
penggantian , disini (Ar = p-MeC6H4)
tersingkir dan msuklah * oleh karenanya ikatan C ─ O dalam reaksi
ini benar-benar diputus dan
terjadilah pembalaikkan konfigurasi dalam pembentukkan asetat (22) . hidrolisis
basa pada astetat itu (22→23) ternyata tidak mengakibatkan pemecahan
ikatan C ─ O alkil-oksigen** sehingga alkohol (23) memiliki
konfigurasi serupa seperti asetatnya (22). Karena (23) kenyataannya merupakan
bayangan cermin bahan semula (20)- jadi mempunyai arahh putaran optic yang
berlawanan- maka jelas telah terjadi pembalikan konfigurasi selam deretan
reaksi tadi dan telah terjadi pembalikan konfigurasi selama deretan reaksi tadi
dan hal itu hanya mungkin terjadi pada reaksi denag tosilat (21).
Reaksi tosilat (21) ini dengan sejumlah anion lain memperlihatkan masing-masing
reaksi; jadi dapat disimpulkan tanpa ragu-ragu bahwa hal itu terjadi juga pada
reaksi dengan Br menghasilkan bromida (24) yaitu bahwa bromida (24) sebagaimana
asetat (22) memiliki konfigurasi yang berlawanan dengan alkohol semula (20).
Azas umum-bahwa penggantian
dwimolekul (SN2) disertai
pembalikkan (inversi)
konfigurasi-dikukuhkan dan dibuktikan dalam percobaan yang cukup cerdik dan
tepat. Di sini suatu alkil halide optic aktif mengalami penggantian oleh ion
halide yang sama (meskipun bertanda isotop) yang berfungsi nukleofil misalnya 128I-
radioaktif pada (+) 2-iodooktana (25): Penggantian (atau pemindahan) itu
diikuti dengan mengamati perubahan distribusi 128I diantara iodide
anorganik (natrium) dan 2-iodooktana, dalam hal ini ternyata diperoleh bahwa
pada keadaan itu mempunyai derajat keseluruhan dua (derajat pertama terhadap 128I-
dan terhadap 2-iodooktana) dengan k2I
= 3.00 ± 0.25 x 10-5 (pada 30o).
Jika
pembalikan berlangsung, sebagaimana
diprasyaratkan dalam mekanisme SN2,
maka keaktifan optic larutan akan turun menjadi nol, sehingga produknya akan
mengalami rasemisasi. Hal ini terjadi
karena pembalikan konfigurasi dari molekul (+) (25) menjadi molekul bayangan
cerminnya (-) (25a) yang “berpasangan” dengan molekul kedua dari (+) (25)
membentuk suau rasemat (±); yang menunjukkan bahwa laju rasemisasi pengamatan dua kali lipat dari laju pembalikannya.
Reaksi ini diikuti secara polarimetris, diukur laju rasemisasinya, dihitung
laju pembalikannya: diperoleh bahwa harga k
= 2.88 ± 0.03 x 10-5 (pada 30o).
Laju
penggantian dan laju pembalikan sama dalam batas kesalahan percobaan. Dengan
demikian, didapatkan bahwa tiap langkah pengggantian dwimolekul tadi haruslah
berlangsung dengan disertai pembalikan konfigurasi. Dengan telah
diperlihatkannya reaksi-reaksi SN2
itu disertai pembalikan konfugurasi, maka pemeragaan tak-gayut bahwa suatu
reaksi tertentu terjadi lewat jenis SN2
sering dipakai untuk menimbalkaitkan konfigurasi produk dengan bahan reaksi
semula.
4.4.3 Mekanisme
SN1: rasemisasi?
Karena karbokation yang terbentuk pada tahapan
penentu-laju yang lambat itu menyebidang, maka dapat diharapkan bahwa serangan
berikut oleh suatu nukleofil misalnya –OH atau pelarut (H2O:)
akan terjadi dengan cara sama muahnya dari kedua sisi karbokation yang
menyebidang tersebut; hasilnya adalah jenis campuran 50/50 yang memiliki
konfigurasi yang sama dan berlawanan terhadap bahan awalnya, jadi rasemisasi berlangsung dan menghasilkan
produk optik tak aktif (±).
Dalam
kenyataannya, rasemisasi (rasemisasi saja) jarang teramati sempurna dan
biasanya selalu disertai sejumlah peristiwa pembalikan. Kesebandingan nisbi
keduanya ternyata bergantung pada : (a)
struktur halidanya, terutama kemantapan karbokation yang terbentuk, (b) pelarut, terutama kemampuannya untuk
berfungsi sebagai nukelofil. Makin mantap karbokationnya, makin besarlah jumlah
rasemisasinya; makin bersifat nukelofil pelarutnya, makin besar pembalikannya.
Pengamatan ini dapat dipahami jika pengionan SN1 penentu-lajunya mengikuti urutan sebagai berikut :
Di sini (26) merupakan suatu pasangan ion erat-bertautan dan gegen-ion yang tersolvasi secara serentak sangat berdekatan.
Pasangan ion ini tidak diselingi oleh satu molekul pelarut pun, sedangkan (27)
merupakan pasangan ion terpisah-pelarut,
sementara (28) melukiskan pasangan-pasangan ion yang terurai (disosiasi) serta
tersolvasi.
Pada
suatu reaksi solvolisis, serangan atas R+ oleh molekul pelarut,
misalnya H2O: pada (26) mengakibatkan pembalikan karena serangan
dapat terjadi (oleh :selaput” pelarut) di sisi/sebelah “belakang” R+
tetapi tidak di “depan”-nya yang tidak terdapat molekul pelarut satupun serta
terlindung oleh gegen-ion Br-.
Serangan pada (27) rupanya dapat dari kedua arah, yaitu terjadi resimasi,
sedangkan serangan pada (28) dapat berlangsung dengan peluang sama dari tiap
sisinya. Dengan demikian, makin lama umur R+-nya (makin lama ia
lolos dari serangan nukleofil) makin besarlah rasemisasi yang diharap dapat
terjadi. Umur R+ lebih panjang jika ia lebih mantap-keadaan (a) di atas-dan lebih pendek jika
pelarutnya lebih nukleofil-keadaan (b)
tadi.
Dengan
demikian, solvolisis (+) C6H5CHMeCl yang dapat membentuk
karbokation jenis benzyl termantapkan mengahasilkan 98% rasemisasi sedangkan
untuk (+) C6H13CHMeCl yang tidak memungkinkan terbentuknya
pemantapan, hanya terjadi 34% rasemisasi. Solvolisis (+) C6H5CHMeCl
dalam 80% aseton/ 20% air menghasilkan 98% rasemisasi (diatas) tetapi dalam air
saja (yang lebih nukelofil) hanya 80% rasemisasi. Hal serupa juga berlaku bagi
reaksi-reaksi penggantian nukelofil oleh Nu: sebagaimana untuk solvolisis,
tetapi dalam hal itu R+ dapat sedikit lebih lama bertahan pada
deretan tadi karena selaput pelarutnya harus disingkirkan terlebih dahulu
sebelum Nu: mencapai R+-nya. Penting diperhatikan bahwa keperluan dan prasyarat stereokimia
untuk rasemisasi reaksi SN1
jauh lebih longgar jika dibandingkan dengan inverse reaksi-reaksi SN2.
4. 4. 4 Garis
batas mekanis
Telah dibuat acuan terhadap kenyataan bahwa reaksi
beberapa substrat, misalnya halide sekunder, akan mengikuti campuran persamaan
laju orde pertama/kedua. Timbul pertanyaan, apakah reaksi seperti itu
berlangsung lewat kedua jejak SN1 dan SN2 secara serentak (perbandingan nisbinya bergantung
pada pelarutnya dann sebagainya) atau apakah berlangsung lewat mekanisme khusus “diantara” jejak mekanistik.
Pada
reaksi solvolitik seperti itu, telah disimak bahwa jika pelarut sendiri
merupakan nukelofil, campuran kinetic demikian tidak dapat dideteksi. Terlepas
dari apa yang sebenarnya terjadi, persamaan laju kedua jejak SN1 dan SN2 adalah sebagai berikut:
Laju = k
[R K]
Ini terjadi karena pada jejak SN2, kepekatan nukelofil akan tetap konstan sepanjang
reaksi-demikian pula pelarut-jika terdapat dalam keadaan sangat berlebih dan
tidak berubah-ubah. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah campuran
rasemisasi/inverse yang diamati dalam hal demuikian berasal dari jejak SN1 dan SN2 untuk solvolisis yang berjalan serentak, lebih baik
daripada dengan lewat bermacam
hipotesis pasangan ion yang rumit dan bervariasi yang telah dijelaskan dimuka.
Sekurang-kurangnya
pada beberapa hal mungkin untuk menunjukkan bahwa “campuran” jejak SN1 + SN2 tidak
berjalan. Jadi solvolisis halide tersebut di atas yaitu (+) C6H5CHMeCl,
tetapi dalam hal ini MeCO2H, menghasilkan rasemisasi 88% dan inversi
12%.
Penambahan MeCO2- (sebagai
MeCO2-Na+) yang sangat nukleofilik pada
campuran reaksi menghasilkan: (a)
tidak ada peningkatan pada laju reaksi keseluruhan, dan (b) tidak ada peningkatan dalam proporsi inversi. Kesan yang kuat
bahwa inversi yang teramati tidak berasal dari bagian jalan reaksi keseluruhan
lewat suatu jejak SN2
sekaligus dengan jenis (terutama) SN1.
Jika itu dilakukan, diharapkan perubahan pada nukleofil yang sangat kuat (MeCO2H
à MeCO2-)
menghasilkan peningkatan dalam kedua (a)
dan (b) diatas.
Banyak
sekali yang menarik dan diperdebatkan, berpusat pada apakah dalam analisis
terakhir ada kemungkinan spectrum kontinu jejak mekanistik antara zat-antara SN1 dan SN2, yaitu pembuatan bayangan yang tidak terlihat satu
dengan yang lain lewat bermacam-macam tahap keadaan peralihan dari sisi SN2 murni dan lewat berbagai
tahap pasangan-pasangan ion/kombinasi pelarut dari sisi SN1 murni menutupi arti kata sesungguhnya, bukan teologi.
4. 4. 5
Mekanisme SN1 :
konfigurasi terjaga
Selain yang telah diutarakan di atas perihal
reaksi-reaksi penggantian yang menghasilkan pembalikan konfigurasi, rasemisasi
atau campuran keduanya, sejumlah reaksi dapat berlangsung dengan konfigurasi
tetap terjaga (retensi) yaitu bahan
semula dan produknya berkonfigurasi sama. Salah satu reaksi yang menunjukkan
hal itu ialah penggantian OH oleh Cl dengan lewat perlakuan dengan tionil
khlorida, SOCl2:
Reaksi ini mengikuti persamaan laju derajat
keduanya, laju = k2 [ROH]
[SOCl2], tetapi tidak dengan ragam SN2 karena jika demikian akan mengakibatkan pembalikan
konfigurasi pada produk dan hal ini tak teramati.
Dengan
melakukan reaksi pada keadaan tidak terlalu ekstrem, dapat diisolasi alkil
khlorosulfit ROSOCl (31) dan ini ternyata merupakan zat-antara yang sebenarnya.
Khlorosulfit terbentuk dengan konfigurasi terjaga (retensi), ikatan R-O tidak
terputus pada waktu reaksi. Laju pada saat zat-antara alkil khlorosulfit (31)
akan mengurai menjadi produk RCl (30a) ternyata meningkat jika sifat pengutuban
pelarut diperbesar, juga jika kemantapan karbokation R+ diperbesar :
dalam hal ini pasangan ion R+- OSOCl (32) pasti terlibat. Apabila
perubahan dari pasangan menjadi produk terjadi dengan cepat, yaitu pasangan ion
erat-bertautan (33) dengan dikurung oleh pelarut, maka serangan oleh Cl-
cenderung terjadi pada sisi R+ yang sama dengan sisi -OSOCl, jadi konfigurasi terjaga:
Apakah pemutusan ikatan C-O dan S-Cl terjadi
serentak atau berurutan dan yang mana yang terlebih dahulu, hal ini masih
merupakan perdebatan.
Yang
menarik adalah bahwa jika reaksi reaksi SOCl2 dengan ROH dilakukan
dengan adanya piridina, produk RCl ternyata mengalami pemmbalikan konfigurasi
(30b). Hal ini disebabkan HCl yang
terjadi selama pembentukan (31) dari ROH dan SOCl2 diubah oleh
piridina ke C5H5NH+Cl- dan Cl-
yang merupakan nukleofil berhasilguna, menyerang (31) dari arah “balik
punggung” dalam reaksi SN2
normal yang disertai pembalikan konfigurasi:
4. 4. 6
Peranserta gugus tetangga “penjagaan”
Terdapat pula beberapa contoh konfigurasi terjaga
pada reaksi-reaksi penggantian/pemindahan nukelofil yang ditandai oelh adanya
suatu atom atau gugus-dekat dengan karbon terserang-yang memiliki pasangan
elekron. Gugus tetangga ini dapat
memakai pasangan elektronnya untuk mempengaruhi “bagian punggung” suatu atom
karbon yang sedang mengalami penggantigugusan, sehingga melindungi serangan
pereaksi nukleofil; oleh karena itu, serangan hanya dapat terjadi “dari depan”
dan menyebabkan konfigurasi terjaga. Hidrolisis basa 1,2-khlorohidrin (34)
ternyata menghasilkan 1,2-diol (35) dengan konfigurasi tetap (terjaga):
Serangan
awal oleh basa pada (34) menghasilkan anion alkoksida (36), kemudian serangan
dalam oleh RO- ini menghasilkan epoksida (37) dengan pembalikan
konfigurasi pada C* (zat-antara bentuk cincin ini terkadang dapat diisolasi).
Pada gilirannya, atom karbon* mengalami serangan SN2 biasa oleh –OH, disertai pembalikan
konfigurasi lagi (kedua) pada atom C*. Akhirnya, anion alkoksida kedua ini (38)
menarik suatu proton dari pelarut dan menghasilkan produk 1,2-diol dengan
konfigurasi yang sama dengan bahan awalnya (35). Konfigurasi yang teramati ini sebenarnya merupakan hasil
dua kali pembalikan secara berturut-turut.
Contoh
lain yaitu oksigen yang berfungsi sebagai gugus tetangga yang terjadi pada
hidrolisis anion 2-bromopropanoat (39) padaOH rendah, yang ternyata juga berlangsung dengan konfigurasi
terjaga (40). Lajunya ternyata tak bergantung pada OH dan reaksinya sebagai
berikut:
Apakah zat-antara (41) merupakan zwitterion seperti
tercantum
Ataukah suatu lakton-α (41a) yang sangat tidak
mantap belum dapat ditegaskan. Jika kepekatan nukleofil OH ditingkatkan, maka
“serangan dari balik punggung” pada SN2 normal disertai pembalikan
konfigurasi pun terjadi.
Gejala/pengaruh
gugus tetangga juga teramati pada atom selain oksigen misalnya belerang dan
nitrogen, juga pada keadaan-keadaan yang meskipun tidak ada hubungannya dengan
stereokimia tetapi cepatnya laju reaksi menunjukkan terjadinyaperubahan
jejak-reaksi. Jadi EtSCH2CH2Cl (42) mengalami hidrolisis
104 kali lebih cepat daripada EtOCH2CH2Cl
(43) dalam keadaan mirip dan hal ini ditafsirkan karena terlibatnya S: sebagai
gugus tetangga:
Sebaliknya, O: dalam (43) cukup elektronegatif
sehingga tak menyumbangkan pasangan elektron, jadi hidrolisis EtOCH2CH2Cl
berlangsung lewat serangan SN2 biasa oleh nukleofil-luar-yang jauh
lebih lambat daripada serangan nukleofil-dalam pada (42) -> (44). Garam
sulfonium lingkar seperti (44) terlibat; hal ini jelas diperlihatkan oleh
hidrolisis senyawa analognya (45) yang menghasilkan dua alkohol (yang tidak
disangka justru dalam jumlah banyak)
yang menyatakan adanya peranserta zat-antara tak simetrik (46):
Ternyata
pula N: dapat bertindak sebagai gugus tetangga dalam keadaan serupa misalnya
hidrolisis Me2NCH2CH2Cl, akan tetapi lajunya
jauh lebih lambat daripada (42) tadi (dalam keadaan mirip) karena lebih
mantapnya zat antara ion imonium lingkar yang berkaitan dengan (44).
Jenis-jenis lingkar semacam itu terbentuk selama hidrolisis dalam gas
gelak/kesturi (mustard gas), S(CH2CH2Cl)2
serta senyawa-senyawa nitrogen yang berkaitan misalnya MeN(CH2CH2Cl)2
: garam-garam imonium lingkar yang diturunkan dari yang terakhir ini juga
merupakan neurotoksin yang amat kuat. Sistem orbital π cincin benzena juga
dapat bertindak sebagai gugus tetangga.
4.5 PENGARUH
GUGUS MASUK DAN GUGUS KELUAR
4.5.1 Gugus
masuk
Dengan mengubah pereaksi nukleofil yang
dipergunakan, yakni yang berfungsi sebagai gugus masuk, tidak akan mengubah
langsung laju reaksi pemindahan penggantian SN1 karena pereaksi
semacam itu tidak mengambil bagian dalam tahapan penentu-laju keseluruhan
reaksi. Akan tetapi dalam pemindahan gugus SN2, makin nukleofil
pereaksinya maka akan makin ditingkatkanlahr reaksinya. Kenukleofilan pereaksi
dapat diharapkan untuk bertimbal kait dengan kebasaannya, karena keduanya
menyangkut ketersediaan pasangan elektron serta kemudahannya untuk
disumbangkan. Tetapi kesejajaran itu ternyata tidak tepat benar karena kebasaan
menyangkut sumbangan pasangan elektron ke hidrogen sedangkan kenukleofilan
menyangkut sumbangan pasangan elektron kepada atom lain, acapkali karbon.
Kebasaan menyangkut keadaan kesetimbangan (termodinamika) yaitu ∆G,
sedangkan kenukleofilan biasanya bersangkutpaut dengan keadaan kinetikanya
yaitu ∆G. Kebasaannya hanya sedikit saja dipengaruhi oleh faktor sterik,
sedangkan kenukleofilan dapat sangat besar terpengaruhnya.
Pembedaan
ini sampai batas tertentu mengikuti dan bersesuaian dengan konsep basa kuat
(keras) dan basa lemah (lunak): basa kuat ialah basa yang atom penyumbangnya
berkeelektronegatifan tinggi, berketerkutuban rendah, dan sukar dioksidasi,
sedangkan basa lemah ialah yang atom penyumbangnya berkeelektronegatifan
rendah, keterkutubannya tinggi, dan mudah dioksidasi. Untuk derajat kebasaan
tertentu, kelunakan dapat meningkatkan kenukleofilan. Data kebasaan justru
lebih sering dan lebih mudah diperoleh, juga dapat dipergunakan sebagai
kenukleofilan asal pembandingnya dilakukan terhadap yang bersepadan. Jadi jika
atom penyerangnya sama maka keduanya sangat sesuai sehingga makin kuat basanya
maka makin bersifat nukleofil:
Geseran jenis mekanistik ternyata dapat pula terjadi
jika nukleofilnya diubah. Misalnya pemindahan SN1 pada H2O:,
HCO3, MeCO2 dan sebagainya dapat berubah menjadi SN2
jika dengan OH atau EtO
Kenukleofilan
sangat dipengaruhi oleh ukuran atom penyerang dalam nukleofil, setidaknya bila
dibandingkan dengan kelompok atau subkelompok termaksud dalam Daftar berkala.
Dengan demikian, diperoleh:
Ukuran, disamping keelektronegatifan, dapat juga
menentukan keterkutuban/kemengutuban dengan bertambah besarnya ukuran maka
menurunlah “daya genggam” inti atas elektron pinggiran (perifer) hingga lebih
mudah terkutubkan, akibatnya ikatan akan lebih mudah terbentuk pada pemisahan
antar inti yang lebih besar. Demikian pula, makin besar ion atau gugus
nukleofil, makin kecil energi solvasinya, jadi makin mudah berubah menjadi
nukleofil yang berhasil guna dan tak tersolvasi; sehingga panas hidrasi I dan F
adalah 284 dan 490 kJ mol. Gabungan faktor-faktor inilah yang menyebabkan ion
iodida yang besar, mudah terkutub dan sukar tersolvasi itu merupakan nukleofil
yang jauh lebih baik daripada ion fluorida, yang kecil, sukar terkutub dan
mudah tersolvasi (ikatan hidrogen dengan pelarut hidroksilat). Maka dapat
diharapkan bahwa peningkatan laju pada perubahan pelarut hidroksilat menjadi
tak-protik (I) akan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Br atau Cl. Hal
ini benar teramati karena Br merupakan nukleofil yang lebih baik daripada I
dalam Me2CO.
Ada
lagi hal yang menarik, yakni dalam kaitannya dengan nukleofil yang memiliki
lebih dari satu – biasanya dua – atom yang memadai sebagai sarana untuk
penyerangan substrat, yaitu nukleofil ambiden (“mendwi-waja”, “mendua-gigitan”):
Ternyata
dalam praktek ditemui bahwa pada reaksi-reaksi SN1 amat mengutub
serangan berlangsung pada zat-antara karbokationik, R+, lewat atom
dalam nukleofil yang lebih besar rapatan
elektron-nya. Misalnya pada halida-halida yang tidak segera mengalami
serangan SN1 dapat ditingkatkan dengan menggunakan garam perak
anionnya, misalnya AgCN, karena Ag+ meningkatkan terbentuknya R+
dengan pengendapan AgHAl:
Dengan
tiadanya peningkatan oleh Ag+ itu, misalnya pada Na+ (CN)
-, maka reaksi SN2 yang terjadi akan berjalan dengan serangan
terpilih pada atom dalam nukleofil yang lebih terkutub:
Hal
ini dapat dipahami karena tidak sebagaimana SN1, pembentukan ikatan
terjadi pada KP sebagai tahapan penentu-lajunya, yang mana keterkutuban atom
ikatan nukleofilnya memegang peranan penting, yatu mulainya terbentuk ikatan
pada pemisahan antarinti sejauh mungkin. Dikotomi AgCN/NaCN ini telah lama
dimanfaatkan untuk keperluan preparatif. Hal serupa, pada ion nitrit (NO2)
– ternyata membentuk alkil nitrit R-O-N=O pada keadaan SN1
(rapatan elektron atom O lebih besar) dan nitroalkana R-NO2 pada
keadaan SN2 (N merupakan atom yang lebih mudah terkutubkan).
4.5.2 Gugus Pergi
Dengan
mengubah gugus pergi berarti akan
mengubah laju reaksi SN1 maupun SN2 karena pemutusan
ikatan ke gugus pergi berkaitan dengan tahapan yang lambat yaitu tahapan
penentu-laju untuk keduanya. Kita memperkirakan kemampuan nisbi Y sebagai gugus
pergi pada R-Y dipengaruhi oleh: (a)
kekuatan ikatan R-Y; (b) keterkutuban
ikatan ini; (c) kemantapan Y-;
dan (dihubungkan dengan yang terakhir) (d)
derajat pemantapan lewat solvasi Y- dalam KP untuk SN1
maupun SN2.
Urutan
kereaktifan (SN2 atau SN1) yang diamati untuk halida:
R – I
> R – Br > R
– Cl > R – F
Memberi
kesan bahwa (a) dan (b) diatas mungkin lebih penting
daripada (c) dan (d). Untuk gugus pergi potensial yang lain pengaruh (c) menunjukkan bahwa makin lemah Y-
sebagai basa (atau makin kuat H-Y sebagai asam) menghasilkan gugus pergi yang
lebih baik. Ini terbukti bahwa sampai tingkat tertentu dari suatu urutan gugus
pergi dimana atom di dalam Y melalui mana ia berikatan dengan R akan sama. Jadi
anion dari “asam oksigen” kuat sepeerti p-MeC6H4SO3-,
CF3SO3- merupakan gugus pergi yang
baik(seperti halnya anion halida); dengan gugus o, (c) dan (d) diatas lebih
berpengaruh. Kemampuan nisbi gugus pergi bagaimanapun juga dapat berubah dengan
penggantian pelarut, menunjukkan pengaruh (d).
Perubahan dalam kemampuan nisbi ini terutama ditandai pada penggantian dari
pelarut hidroksilat menjadi pelarut dwikutub non-protik Imisalnya Me2SO,
HCONMe2 dan sebagainya) yang semula lebih ditonjolkan oleh kendali (c)/(d) bergeser menjadi (a)/(b).
Tingginya derajat keterkutuban
menjadikan I- sebagai gugusan masuk dan gugus pergi yang baik, oleh
karenanya sering dipergunakan sebagai katalis untuk meningkatkan reaksi-reaksi
pemindahan yang biasanya lambat, misalnya:
Inilah
yang disebut sebagai katalis nukleofil. Jika
gugus pergi merupakan basa yang lebih kuat dan keras, maka akan makin sukar
untuk dipindah; jadi gugus-gugus seperti –OH, –OR, –
NH2 yang terikat pada karbon oleh atom-atom elektronegatif
yang kecil dengan keterkutuban rendah tidak dapat dipindah langsung oleh
nukleofil-nukleofil lain.
Pemindahgugusan yang sukar atau
bahkan tidak mungkin dilakukan secara langsung, terkadang dapat terjadi dengan
mengubah potensial gugus pergi-dengan protonasi (pemrotonan)-sehingga membuat
lebih lemah dan/atau lebih lunak selaku basa. Sebagai contoh, –OH
mustahil untuk dipindahkan langsung oleh Br– akan tetapi dengan
mudah dapat dipindahkan jika diprotonasi terlebih dulu:
Ada
dua alasan utama tentang hal ini : (a) Br– ini akan menyerang jenis yang bermuatan
positif, bukan netral; (b) H2O yang merupakan basa amat lemah
merupakan gugus pergi yang jauh lebih baik daripada –OH yang
merupakan basa kuat. Pemakaian HI yang amat populer dalam memecah eter beranjak
dari sifat I- yang merupakan jenis paling nukleofil yang dapat
dihasilkan dalam larutan asam kuat yang diperlukan untuk protonasi (pemrotonan)
awal:
4.6.
PEMINDAHGUGUSAN NUKLEOFIL LAIN
Dalam
diskusi tentang nukleofil pada atom karbon jenuh ini, perhatian kita jendrung
ditujukanpada serangan anion nukleofil Nu: terutama –OH, terhadap
jenis netral yang terkutubkan, terutama alkil halide, +R-Hal-.
Pada kenyataannya, pemindahangugusan umum ini selain berkaitan dengan serangan
itu, juga karena serangan oleh nukleofil tak-bermuatan (non charged) Nu:
terhadap jenis netral terkutubkan, anion nukleofil pada:
Jenis bermuatan positif, serta nukleofil
tak-bermuatan pada
Jenis-jenis yang bermuatan positif ( N2
mungkin merupakan gugusan pergi yang terbaik)
Telah
diutarakan pula bahwa gugus-gugus pergi yang baik selain ion halide, adalah
misalnya anion tosilat (bdk. hlm. 117)
Serta
gugus pergi dalam (internal; bdk. hlm. 124)
Adapula
sekelompok reaksi pemindah nukleofil yang cukup penting secara sintetik
(preparative)yang atom nukleofil penyerangnya adalah suatu karbon yaitu karbanion
(hlm.382)atau suatu sumber karbon yang terkutub negatif(bdk.hlm.292'),sehingga menghasilkan ikatan karbon-karbon baru:
Pentingdiingat
bahwa padacontoh-contoh diatas,serangan nukleofildipandangdarisatu, pemeran serta
dapat saja merupakan
serangan elektrofil ditinjau dari segi zat pemeran serta lainnya.Jadi gambaran tentang proses secara keseluruhan
dapat dikatakan "mana suka"(arbitrary),yang juga mencerminkan pra
konsepsi tentang penyusunan
suatu
pereaksi jika dibandingkan dan dilawankan dengan suatu substrat.
Tidak
mengherankan, bahwa
tidak semua
reaksi pemindahgugusan nukleofil terjadi dan menghasilkan 100% produkSebagaimana
dalamhal-hal
lain disini selalu terjadi reaksi-reaksi sampingan yang mana dalam tujuan
preparative kurang dikehendaki. Reaksi sampingan yang penting ialah
penyingkirgugusan (eliminasi).