Total Tayangan Halaman

Senin, 19 September 2016

REAKSI NUKLEOFILIK

BAB IV

Gantigugus Nukleofil pada Atom Karbon Jenuh

Pengertian nukleofilik

Pada kimia organik maupun anorganiksubstitusi nukleofilik adalah suatu kelompok dasar reaksi substitusi, dimana sebuah nukleofil yang "kaya" elektron, secara selektif berikatan dengan atau menyerang muatan positif dari sebuahgugus kimia atau atom yang disebut gugus lepas (leaving group).

Bentuk umum reaksi ini adalah

Nu: + R-X → R-Nu + X:

Dengan Nu menandakan nukleofil: menandakan pasangan elektron, serta R-X menandakan substrat dengan gugus pergi X. Pada reaksi tersebut, pasangan elektron dari nukleofil menyerang substrat membentuk ikatan baru, sementara gugus pergi melepaskan diri bersama dengan sepasang elektron. Produk utamanya adalah R-Nu. Nukleofil dapat memiliki muatan listrik negatif ataupun netral, sedangkan substrat biasanya netral atau bermuatan positif.Contoh substitusi nukleofilik adalah hidrolisis alkil bromida, R-Br, pada kondisi basa, dimana nukleofilnya adalah OHdan gugus perginya adalah Br-.

R-Br + OH → R-OH + Br

Reaksi substitusi nukleofilik sangat umum dijumpai pada kimia organik, dan reaksi-reaksi ini dapat dikelompokkan sebagai reaksi yang terjadi pada karbon alifatik, atau pada karbon aromatik atau karbon tak jenuh lainnya (lebih jarang). Menurut kinetikanya, reaksi substitusi nukleofilik dapat dikelompokkan menjadi reaksi SN1 dan SN2.

Jenis reaksi kimia organic yang paling banyak dikaji secara terperinci adalah pengganti gugusan (subsitusi ) nukleofil pada atom karbon jenuh : reaksi pemindah gugusan klasik sebagaimana pada contoh penggantian alkil halide menjadi suatu alcohol

 

Pengukuran kinetika atas reaksi-reaksi dengan penyerangan alkil halide oleh berbagai zat nukleofil yang berbeda, yaitu bahwa Nu dengan adanya 2 macam kinetika yang telah dibuktikan sebagai berikut :

Sedangkan laju yang lain :

 

Dengan demikian, lajunya tidak bergantung pada pekatnya Nu. Namun. Dalam beberapa hal laju reaksi ternyata campuran atau agak rumit tetapi tidak jarang yang  mengikuti kaidah laju reaksi diatas

4.1 KAITAN KINETIKA DENGAN MEKANISME

Hidrolisis halide primer bromometana ( metil bromide ) dalam basa berair. Terlibatnya alkil halide maupun ion hidroksil dalam tahap reaksi penentu laju reaksinya. Jadi, sebagian energi yang diperlukan untuk mengakibatkan putusnya ikatan C-Br kemudian diisi dengan energy yang terbentuk saat terjadinya ikatan HO-C.

 

 

 

 

 

Perhitungan secara mekanika kuantum menunjukkan bahwa mendekatnya ion hidroksil sepanjang garis pusat atom karbon dan brom memerlukan energi minimum. Atom karbon yang semula terhibridisasi sp3 kemudian menjadi terhibridisasi sp2 dalam keadaan peralihan (KP) HO dan Br akan bergabung dengan kedua cuping orbital p yang tak terhibridisasi. Jenis mekanisme seperti ini dinamakan SN2 ( penggantian nukleofil 2 molekul )

 

 

 

 

 

            Jenis mekanisme seperti ini dinamakan SN1 yaitu penggantian nukleofil ekamolekul. Energi yang diperlukan untuk melangsungkan pengionan awal didapat kembali pada energi yang dihasilkan dari solvasi pasangan ion. Untuk proses disosiatif yang dibutuhkan entropi pengaktifan yang menguntungkan sehingga S untuk menghidrolisis Me3CCl menjadi + 51 JK-1 mol-1 lebih baik daripada dibandingkan menghidrolisis CH3Cl yaitu -17 JK-1 mol-1. Jadi perbedaan penting antara lintasan reaksi SN2 dan SN1 yakni Untuk SN2 hanya proses dalam satu tahap lewat keadaan peralihan, sedangkan SN1 proses dalam dua tahap lewat zat antara karbokation.  

            Derajat reaksi adalah suatu besaran yang ditentukan secara eksperimen. Keseluruhan derajat suatu reaksi merupakan jumlah pangkat kepekatan-kepekatan yang ada pada persamaan laju reaksi seperti berikut ini :

 

 

 

 

Pada umumnya yang diperhatikan adalah orde/derajat reaksi terhadap suatu pereaksi tertentu (atau pereaksi-pereaksi) yang berperan, daripada derajat keseluruhannya. Kemolekulan suatu reaksi sebagai keseluruhan hanya akan berarti jika reaksi brerlangsung dalam satu tahap (reaksi elementer/dasar)

Jika pelarut dapat bertindak sebagai nukleofil, misalnya H2O tersebut prosesnya dapat mengikuti mekanisme SN2 yaitu :

 

Tetapi karena konsentrasi H2O secara nisbi jumlahnya tetap, maka persamaan laju yang dapat teramati adalah :

 

4.2 PENGARUH PELARUT

            Pengubahan pelarut pada saat dilangsungkannya reaksi sering kali memberikan pengaruh terhadap laju reaksinya, bahkan dapat pula mengubah mekanisme reaksinya. Contoh : suatu halida yang mengalami hidrolisis dengan jenis mekanisme SN1, jika pengaruh polaritas pelarutnya ditingkatkan ( yakni tetapan dieletriknya diperbesar ) maka laju reaksi akan sangat dipercepat.

 

Akan tetapi bagi jenis SN2, peningkatan sifat pengutuban pelarut jauh lebih kecil pengaruhnya, sehingga laju reaksi hanya turun sedikit. Hal ini terjadi seperti halnya pada reaksi dibawah ini, karena terbentuknya muatan baru dan muatan yang ada menyebar pada KP

 

 

 

                Dengan demikian, solvasi KP agak kurang berhasil daripada nukleofil semula, jadi terjadi sedikit penurunan.

4.3 PENGARUHSTRUKTUR

                Suatu urutan yang menarik diperoleh pada reaksi deretan halide terhadap basa :

                Dengan demikian, bromometana dan bromoetena mengikuti kombinasi persamaan laju reaksi kedua dan pertama dengan kesebandingan nisbi bergantung pada OH awalnya (makin tinggi kepekatan awal, makin besar bagian derajat keduanya ) dan laju keseluruhan minimum. Sedangkan 2-Bromo-2-metilpropana ternyata mengikuti persamaan laju derajat pertama.

Ini merupakan urutan halide analog yang sama seperti gambar sebelumnya. Pada keadaan demikian persamaan laju orde kedua (lintasan SN2) pasti dilewati.

 

 

Pada urutan halide diatas, terjadi peningkatan kemantapan karbokation yakni dengan bertambah cepat terbentuknya KP. Peningkatan kemantapan ini akibat pengaruh gejala induktif.

 

 

 

Dan juga berpengaruh hiperkonjugasi :

 

 

 

 

Dukungan atas antaraksi H-C dengan atom yang mengandung muatan positif diperoleh dengan mengganti gugus H dengan D pada semula, sehingga laju pembentukan pasangan ionnya diperlambat 10 % untuk setiap atom deuterium yang masuk. Hal ini sesuai dengan ikatan H-C yang terlibat dalam pengionan dan lazim disebut gejala isotope kinetic sekunder, sekunder karena yang diputus adalah ikatan selain yang mengikat tanda isotop.

            Jadi seperti yang diperkirakan , urutan laju SN2 menurun dan laju SN1 meningkat , bersilang bseperti gambar 4.1. sehingga beralasan untuk mengamati pola laju reaksi dan perubahan dalam jejak reaksi.

            Perubahan mekanistik serupa juga teramati, meskipun berlangsung lebih cepat, dalamm mengikuti sebagai berikut  :

            CH3Cl ─ Cl                 C6H5CH2 ─ Cl             (C6H5)2CH  ─ Cl         (C6H5)3C  ─ Cl           

                  (9)                                      (10)                              (11)                              (12)

Dengan demikian, untuk hidrolisis dalam aseton 50% berair, teramati suatu persamaan laju yang merupakan kombinasi derajat pertama dan kedua bagi fenilkhlorometana (benzil khlorida, 10) ─ berubah secara hamper sempurna ke jenis SN1 dalam air saja. Difenilkhlorometana (11) ternyata mengikuti persamaan laju derajat pertama (satu) dengan peningkatan yang hebat pada laju reaksi keseluruhan , sedangkan trifenilkhlorometana (tritil  khlorida ,12) sedemikian mengionnya sehingga senyawanya dapat menunjukkan hantaran listrik jika dimasukkan dalam SO2 cair . Penyebab utama peningkatan pengionan yang lebih besar ─ dengan akibat perubahan lebih dulu kelangkah SN1 di antara deretan tadi merupakan pemantapan kerbokation oleh delokalisasi muatan positifnya terjadi :

 

Hal ini merupakan contoh klasik suatu ion yang termantapkan oleh delokalisasi muatan lewat dukungan orbital-orbital π terdelokalisasi pada inti benzene (bdk, ion fenoksida bermuatan negative, hlm 31). Pengaruhnya makin terasa dan serangan SN1 dalam (C6H5)2CHCl dan (C6H5)3CCl (12) lebih bermudah begitu kemungkinan delokalisasi muatan positif pada karbokation-karbokation yang dapat diperoleh dari halida-halida ini diperbesar.

            Serangan SN2 terhadap CH2 dalam (10) ternyata berjalan dengan laju yang sama sebagaimana terjadi pada MeCH2Cl . ssehingga memberi  kesan bahwa setiap kepenuhsesakan sterik yang merugukan dalam KP oleh gugus C6H5 yang berdesakan , akan diimbagi oleh pengaruh listrik (imbasan ?) yang kecil yang melibatkan reaksi

            Pemantapan karbokation serupa  juga berlangsung pada alil halida , misalnya 3-khloropropena :

     

Serangan SN1 meningkat dan alil , sebagaimana benzil , halida biasanya lebih reaktif jika dibandingkan misalnya dengan jeisnya , misalnya CH3CH2CH2Cl dan C6H5CH2CH2Cl yang pemantapan karbokationnya mustahil terjadi. Serangan SN2  juga dipercepat , dibandingkan dengan CH3CH2CH2Cl , diduga karena setiap pengaruh  listrik dari ikatan rangkap ─ yang akan mempercepat reaksi  ─ tidak dihilangkan oleh pengaruh sterik ynag merugikan , seperti halnya gugus C6H5 yang berdesakan dalam C6H5CH2Cl (bdk diatas ). Kesebandingan reaksi keseluruhan yang berlangsung dengan setiap dari dua lintasan seperti tersebut diatas ternyata bergantung pada keadaan : nukleofil-nukleofil yang kuat akan meningkatkan jenis SN2 (bdk hlm 127).

            Sebaliknya , vinil halida misalnya khloroetana , CH2═CHCl dan halogenobenzena sangat tidak reaktifterhadap nukleofil . Hal ini disebabkan atom halogennya kini terikat pada karbon hibrida sp2 sehingga mengakibatkan tertariknya pasangan electron ikatan C─Cl lebih dekat ke karbon daripada ikatan ke karbon hibrida sp3  . ternyata C─Cl lebih kuat sehingga sukar diputuskan , misalnya dibandingkan dengan CH3CH2Cl , samping itu dwikutub  C─Cl pun lebih kecil ; oleh karenanya kecenderungan mengion turun (SN1) dan karbon possitif yang dapat diserang  pun lebih sedikit ; elekton-elektron ikatan rangkap juga akan menghalangi pendekatan nukleofil sebagai penyerang . ikatan rangkap tidak akan memantapkan baik keadaan peralihan SN2 maupun karbokation yang terlibat dalam jejak SN1-nya . bahasan serupa juga berlaku bagi halogenobenzena dengan karbon hibrida sp2-nya serta system orbital π dalam inti benzena . Reaksi-reaksinya, yang meskipun dwimolekul tetapi tidak begitu saja menambil jejak SN2 , akan diuraikan secara lebih terperinnci .

            Pengaruh – pengaruh factor sterik pada jejak reaksi teramati jika pengantigugusan terjadi pada posisi β. Jadi bagi deretan ini :

   CH3 ─ CH2 ─ Br        MeCH2 ─ CH2 ─ Br       MeCH  ─ CH2 ─ Br          MeC  ─ CH2 ─ Br

            (6) 1.0                   (13)   2.8 x 10-1                   (14) 3.0 x 10-2                   (15) 4.2 x 10-6

Angka yang tercantum merupakan laju nisbi reaksi (semua SN2) dengan  dalam EtOH  pada 550  . perbedaan pengaruh elektronik gugus-gugus Me lewat dua atom karbon jenuh akan sangat kecil dan alasn tentang perbedaan lajunya yang semata-mata merupakan pengaruh sterik : makin sukar  “ dari balik punggung “ karbon yang mengikat Br agar mendekat serta makin penuh KP yang terhasil. Penyebab merosotnya laju antara 1-bromo-2-metilpropana (14) dengan 1-bromo-2,2-dimetilpropana (neopentil bromide ;15) adalah karena KP untuk yang terdahulu penuh, sehingga dengan putaran berxumbu ikatan Cα ─ Cβ dapat mengambil konformasi (14a) yang hanya memungkinkan serangan terganggu oleh H saja sedangkan bagi yang terakhir hampir-hamppir tidak ada pelonggaran semacam itu pada KP-nya (15a) (tetapi lihat juga hlm .146).

KP (15a) akan terdapat pada energi yang jauh llebih tinggi ∆G (hlm 49) yang lebih besar sehingga laju reaksinya pun turun.

            Pengaruh struktur atas kereaktifan nisbi terlihat jelas sekali jika suatu atom halogen diletakkan pada titik jembatan suatu system dwilingkar (bisiklik) . ternyata laju solvolisis dalam etanol 80% berair pada 25o-nya adalah :

                             

                                      (8)                                (16)                                (17)

                                       1                                  10-6                               10-14    

 

Semuanya merupakan halida tersier sehingga seranggan dengan jenis SN2 tidak diharapkan terjadi atas (16 ) atau (17) meskipun berlangsung atas (8). Serangan SN2 “ dari balik punggung” (dari belakang) atom karbon pada (16) dan (17) yang mengikat Br akan terhalang baik secara sterik karena struktur yang mirip sangkar dan jugan karena mustahilnya mengubah-ubah bentuk kaku dari kerangka tatanan ikatan menyebidang atas atom, karbon yang berfungsi sebagai titik lompatan sebagaimana diperlukan olej KP-nya. Solvolisis lewat pembentukan pasangan ion yang menentukan laju (SN1) , seperti yang terjadi pada (8) juga dihalangi karena karbokation yang terbebtuk dari (16) dan (17) kerangkanya kaku , sehingga tidak sanggup memantapkan diri dengan perombakan menjadi bentuk menyebidang . Zat antara karbokationnya jelas berada dalam dalam keadaan dimana energinya jauh lebih tinggi daripada biasanya sehingga pembentukannya amat pelan dan sukar. Laju solvolisis (17) yang jauh lebih kecil dibandingkan (16) dapat mencerminkan lebih kakunya karbon titik jembatan (kationik) yang memiliki satu-karbon  (karbon tunggal ;17) daripada jika berjembatan dua-karbon (16).

Keadaan kaku itu juga terlihat pada 1-bromotriptisena (19) yang atom bromya hampir-hampir lembam (inert) sempurna terhadap nukleofil.

                       

                                  (18)                                                          (19)

                                    1                                                              10-23

Meskipun tampaknya terdapat kemiripan formal dalam lingkungan atom brom pada (18) dan (19) , tetapi ternyata laju reaksi kedua senyawa itu dalam keadaan yang mirip berbeda jauh , yaitu ditunjukkan dengan factor 10-23:1 . Hal ini karena pemantapan karbokation dari (18) dapat terjadi oleh delokalisasi muatannya yang melalui system orbital π pada ketiga cincin-benzena, sedangkan pada (19) yang strukturnya sangat kaku akan menarik semua kation hampa orbital (karena lepasnya Br- ) tetapi pada sudut yang tegak lurus terhadap system orbital π ini, sehingga mencegah delokalisasi.

4.4 DAMPAK STEREOKIMIA TERHADAP MEKANISME

Hidrolisis dari suatu bentuk aktif optic senyawa halida khiral* menujukkan bebarapa peristiwa stereokimia yang amat menarik . Hal ini dipelajari dengan menyimak tiap jejak secara berurutan:

4.4.1 Mekanisme SN2 : pembalikan konfigurasi                                        

 

 

Dalam hal ini tatanan ruang ketiga gugus yang terikat pada atom karbon yang diserang terbalikkan secara berhasilguna. Atom karbonnya dikatakan telah mengalami pembalikan konfigurasi (tatanan ruang  gugus-gugus yang tertaut padanya). Memang , jika yang dihasilkan sbromida - tidak seperti disini alkohol – maka  ia akan memutar bidang pengutuban (polarisasi) cahaya mengutub pada arah yang berlawanan , yaitu (-) terhadap bahan semula ;(+) karena merupakan bayangan cermin saru sama lain . sayang, hasil sebenarnya merupakan alkohol sehingga kalu hanya dengan mengamati arah putaran optik saja, orang tak akan dapat menentukan konfigurasinya itu sama atau berlawanan terhadap bromide awalnya. Senyawa yang bukan bayangan cermin dan berkonfigurasi berlawanan tidak selalu menunjukkan arah perputaran optic yang berlawanan juga, sedangkan yang berkonfigurasi sama tidak selalu berarah putar optic sama pula . Jadi untuk memeastikkan dan mengukuhkan bahwa reaksi   SN2 diatas , yang dalam praktek , diikuti oleh suatu pembalikkan konhfigurasi , seperti dituntut teori , perlu juga dilakukan cara-cara yang tak saling tergantung untuk menaitkan konfigurasi bahan semula dengan hasil/produk yaitu bromida dan alkohol yang bersangkutan dalam soal diatas.

4.4.2 Penentuan konfigurasi nisbi

Pada dasarnya masalah disini adalah bahwa jika suatu senyawa khiral mengalami reaksi yang mengakibatkan pemutusan ikatan penghubung salah satu gugus kepusat khiral, maka pusat itu dapat (meskipun tidak selalu), mengalami pembalikan konfigurasi ; sedang jika senyawa mengalami reaksi tanpa pemutusan ikatan semacam itu,pusat khiralnya akan tetap berkonfigurasi sperti semula.Jadi dalam deretan reaksi pada alkohol optik aktif (+) (20) ,pembentukkan suatu ester dengan 4-metilbenzenasulfonil (tosil) khlorida ternyata tidak akan

       

 

memutuskan ikatan C─O alkoholnya* sehingga tosilat (21) dapat memiliki konfigurasi serupa dengan alkohol semula. Reaksi ester ini (21) dengan   tersingkir merupakan penggantian , disini (Ar = p-MeC6H4) tersingkir dan msuklah * oleh karenanya ikatan C ─ O dalam reaksi ini benar-benar diputus dan terjadilah pembalaikkan konfigurasi dalam pembentukkan asetat (22) . hidrolisis basa pada astetat itu (22→23) ternyata tidak mengakibatkan pemecahan ikatan C ─ O alkil-oksigen** sehingga alkohol (23) memiliki konfigurasi serupa seperti asetatnya (22). Karena (23) kenyataannya merupakan bayangan cermin bahan semula (20)- jadi mempunyai arahh putaran optic yang berlawanan- maka jelas telah terjadi pembalikan konfigurasi selam deretan reaksi tadi dan telah terjadi pembalikan konfigurasi selama deretan reaksi tadi dan hal itu hanya mungkin terjadi pada reaksi denag  tosilat (21). Reaksi tosilat (21) ini dengan sejumlah anion lain memperlihatkan masing-masing reaksi; jadi dapat disimpulkan tanpa ragu-ragu bahwa hal itu terjadi juga pada reaksi dengan Br menghasilkan bromida (24) yaitu bahwa bromida (24) sebagaimana asetat (22) memiliki konfigurasi yang berlawanan dengan alkohol semula (20).

                        Azas umum-bahwa penggantian dwimolekul (SN2) disertai pembalikkan (inversi) konfigurasi-dikukuhkan dan dibuktikan dalam percobaan yang cukup cerdik dan tepat. Di sini suatu alkil halide optic aktif mengalami penggantian oleh ion halide yang sama (meskipun bertanda isotop) yang berfungsi nukleofil misalnya 128I- radioaktif pada (+) 2-iodooktana (25): Penggantian (atau pemindahan) itu diikuti dengan mengamati perubahan distribusi 128I diantara iodide anorganik (natrium) dan 2-iodooktana, dalam hal ini ternyata diperoleh bahwa pada keadaan itu mempunyai derajat keseluruhan dua (derajat pertama terhadap 128I- dan terhadap 2-iodooktana) dengan k2I = 3.00 ± 0.25 x 10-5 (pada 30o).

            Jika pembalikan berlangsung, sebagaimana diprasyaratkan dalam mekanisme SN2, maka keaktifan optic larutan akan turun menjadi nol, sehingga produknya akan mengalami rasemisasi. Hal ini terjadi karena pembalikan konfigurasi dari molekul (+) (25) menjadi molekul bayangan cerminnya (-) (25a) yang “berpasangan” dengan molekul kedua dari (+) (25) membentuk suau rasemat (±); yang menunjukkan bahwa laju rasemisasi pengamatan dua kali lipat dari laju pembalikannya. Reaksi ini diikuti secara polarimetris, diukur laju rasemisasinya, dihitung laju pembalikannya: diperoleh bahwa harga k = 2.88 ± 0.03 x 10-5 (pada 30o).

            Laju penggantian dan laju pembalikan sama dalam batas kesalahan percobaan. Dengan demikian, didapatkan bahwa tiap langkah pengggantian dwimolekul tadi haruslah berlangsung dengan disertai pembalikan konfigurasi. Dengan telah diperlihatkannya reaksi-reaksi SN2 itu disertai pembalikan konfugurasi, maka pemeragaan tak-gayut bahwa suatu reaksi tertentu terjadi lewat jenis SN­2 sering dipakai untuk menimbalkaitkan konfigurasi produk dengan bahan reaksi semula.

4.4.3 Mekanisme SN1: rasemisasi?

Karena karbokation yang terbentuk pada tahapan penentu-laju yang lambat itu menyebidang, maka dapat diharapkan bahwa serangan berikut oleh suatu nukleofil misalnya OH atau pelarut (H2O:) akan terjadi dengan cara sama muahnya dari kedua sisi karbokation yang menyebidang tersebut; hasilnya adalah jenis campuran 50/50 yang memiliki konfigurasi yang sama dan berlawanan terhadap bahan awalnya, jadi rasemisasi berlangsung dan menghasilkan produk optik tak aktif (±).

            Dalam kenyataannya, rasemisasi (rasemisasi saja) jarang teramati sempurna dan biasanya selalu disertai sejumlah peristiwa pembalikan. Kesebandingan nisbi keduanya ternyata bergantung pada : (a) struktur halidanya, terutama kemantapan karbokation yang terbentuk, (b) pelarut, terutama kemampuannya untuk berfungsi sebagai nukelofil. Makin mantap karbokationnya, makin besarlah jumlah rasemisasinya; makin bersifat nukelofil pelarutnya, makin besar pembalikannya. Pengamatan ini dapat dipahami jika pengionan SN1 penentu-lajunya mengikuti urutan sebagai berikut :

Di sini (26) merupakan suatu pasangan ion erat-bertautan dan gegen-ion yang tersolvasi secara serentak sangat berdekatan. Pasangan ion ini tidak diselingi oleh satu molekul pelarut pun, sedangkan (27) merupakan pasangan ion terpisah-pelarut, sementara (28) melukiskan pasangan-pasangan ion yang terurai (disosiasi) serta tersolvasi.

            Pada suatu reaksi solvolisis, serangan atas R+ oleh molekul pelarut, misalnya H2O: pada (26) mengakibatkan pembalikan karena serangan dapat terjadi (oleh :selaput” pelarut) di sisi/sebelah “belakang” R+ tetapi tidak di “depan”-nya yang tidak terdapat molekul pelarut satupun serta terlindung oleh gegen-ion Br-. Serangan pada (27) rupanya dapat dari kedua arah, yaitu terjadi resimasi, sedangkan serangan pada (28) dapat berlangsung dengan peluang sama dari tiap sisinya. Dengan demikian, makin lama umur R+-nya (makin lama ia lolos dari serangan nukleofil) makin besarlah rasemisasi yang diharap dapat terjadi. Umur R+ lebih panjang jika ia lebih mantap-keadaan (a) di atas-dan lebih pendek jika pelarutnya lebih nukleofil-keadaan (b) tadi.

            Dengan demikian, solvolisis (+) C6H5CHMeCl yang dapat membentuk karbokation jenis benzyl termantapkan mengahasilkan 98% rasemisasi sedangkan untuk (+) C6H13CHMeCl yang tidak memungkinkan terbentuknya pemantapan, hanya terjadi 34% rasemisasi. Solvolisis (+) C6H5CHMeCl dalam 80% aseton/ 20% air menghasilkan 98% rasemisasi (diatas) tetapi dalam air saja (yang lebih nukelofil) hanya 80% rasemisasi. Hal serupa juga berlaku bagi reaksi-reaksi penggantian nukelofil oleh Nu: sebagaimana untuk solvolisis, tetapi dalam hal itu R+ dapat sedikit lebih lama bertahan pada deretan tadi karena selaput pelarutnya harus disingkirkan terlebih dahulu sebelum Nu: mencapai R+-nya. Penting diperhatikan bahwa keperluan dan prasyarat stereokimia untuk rasemisasi reaksi SN1 jauh lebih longgar jika dibandingkan dengan inverse reaksi-reaksi SN2.

 

4. 4. 4 Garis batas mekanis

Telah dibuat acuan terhadap kenyataan bahwa reaksi beberapa substrat, misalnya halide sekunder, akan mengikuti campuran persamaan laju orde pertama/kedua. Timbul pertanyaan, apakah reaksi seperti itu berlangsung lewat kedua jejak SN1 dan SN2 secara serentak (perbandingan nisbinya bergantung pada pelarutnya dann sebagainya) atau apakah berlangsung lewat mekanisme khusus “diantara” jejak mekanistik.

            Pada reaksi solvolitik seperti itu, telah disimak bahwa jika pelarut sendiri merupakan nukelofil, campuran kinetic demikian tidak dapat dideteksi. Terlepas dari apa yang sebenarnya terjadi, persamaan laju kedua jejak SN1 dan SN2 adalah sebagai berikut:

Laju = k [R      K]

Ini terjadi karena pada jejak SN2, kepekatan nukelofil akan tetap konstan sepanjang reaksi-demikian pula pelarut-jika terdapat dalam keadaan sangat berlebih dan tidak berubah-ubah. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah campuran rasemisasi/inverse yang diamati dalam hal demuikian berasal dari jejak SN1 dan SN2 untuk solvolisis yang berjalan serentak, lebih baik daripada dengan lewat bermacam hipotesis pasangan ion yang rumit dan bervariasi yang telah dijelaskan dimuka.

            Sekurang-kurangnya pada beberapa hal mungkin untuk menunjukkan bahwa “campuran” jejak SN1 + SN2 tidak berjalan. Jadi solvolisis halide tersebut di atas yaitu (+) C6H5CHMeCl, tetapi dalam hal ini MeCO2H, menghasilkan rasemisasi 88% dan inversi 12%.

 

 

Penambahan MeCO2- (sebagai MeCO2-Na+) yang sangat nukleofilik pada campuran reaksi menghasilkan: (a) tidak ada peningkatan pada laju reaksi keseluruhan, dan (b) tidak ada peningkatan dalam proporsi inversi. Kesan yang kuat bahwa inversi yang teramati tidak berasal dari bagian jalan reaksi keseluruhan lewat suatu jejak SN2 sekaligus dengan jenis (terutama) SN1. Jika itu dilakukan, diharapkan perubahan pada nukleofil yang sangat kuat (MeCO2H à MeCO2-) menghasilkan peningkatan dalam kedua (a) dan (b) diatas.

            Banyak sekali yang menarik dan diperdebatkan, berpusat pada apakah dalam analisis terakhir ada kemungkinan spectrum kontinu jejak mekanistik antara zat-antara SN1 dan SN2, yaitu pembuatan bayangan yang tidak terlihat satu dengan yang lain lewat bermacam-macam tahap keadaan peralihan dari sisi SN2 murni dan lewat berbagai tahap pasangan-pasangan ion/kombinasi pelarut dari sisi SN1 murni menutupi arti kata sesungguhnya, bukan teologi.

4. 4. 5 Mekanisme SN1 : konfigurasi terjaga

Selain yang telah diutarakan di atas perihal reaksi-reaksi penggantian yang menghasilkan pembalikan konfigurasi, rasemisasi atau campuran keduanya, sejumlah reaksi dapat berlangsung dengan konfigurasi tetap terjaga (retensi) yaitu bahan semula dan produknya berkonfigurasi sama. Salah satu reaksi yang menunjukkan hal itu ialah penggantian OH oleh Cl dengan lewat perlakuan dengan tionil khlorida, SOCl2:

Reaksi ini mengikuti persamaan laju derajat keduanya, laju = k2 [ROH] [SOCl2], tetapi tidak dengan ragam SN2 karena jika demikian akan mengakibatkan pembalikan konfigurasi pada produk dan hal ini tak teramati.

            Dengan melakukan reaksi pada keadaan tidak terlalu ekstrem, dapat diisolasi alkil khlorosulfit ROSOCl (31) dan ini ternyata merupakan zat-antara yang sebenarnya. Khlorosulfit terbentuk dengan konfigurasi terjaga (retensi), ikatan R-O tidak terputus pada waktu reaksi. Laju pada saat zat-antara alkil khlorosulfit (31) akan mengurai menjadi produk RCl (30a) ternyata meningkat jika sifat pengutuban pelarut diperbesar, juga jika kemantapan karbokation R+ diperbesar : dalam hal ini pasangan ion R+- OSOCl (32) pasti terlibat. Apabila perubahan dari pasangan menjadi produk terjadi dengan cepat, yaitu pasangan ion erat-bertautan (33) dengan dikurung oleh pelarut, maka serangan oleh Cl- cenderung terjadi pada sisi R+ yang sama dengan sisi  -OSOCl, jadi konfigurasi terjaga:

Apakah pemutusan ikatan C-O dan S-Cl terjadi serentak atau berurutan dan yang mana yang terlebih dahulu, hal ini masih merupakan perdebatan.

            Yang menarik adalah bahwa jika reaksi reaksi SOCl2 dengan ROH dilakukan dengan adanya piridina, produk RCl ternyata mengalami pemmbalikan konfigurasi (30b). Hal ini disebabkan HCl yang terjadi selama pembentukan (31) dari ROH dan SOCl2 diubah oleh piridina ke C5H5NH+Cl- dan Cl- yang merupakan nukleofil berhasilguna, menyerang (31) dari arah “balik punggung” dalam reaksi SN2 normal yang disertai pembalikan konfigurasi:

 

 

4. 4. 6 Peranserta gugus tetangga “penjagaan”

Terdapat pula beberapa contoh konfigurasi terjaga pada reaksi-reaksi penggantian/pemindahan nukelofil yang ditandai oelh adanya suatu atom atau gugus-dekat dengan karbon terserang-yang memiliki pasangan elekron. Gugus tetangga ini dapat memakai pasangan elektronnya untuk mempengaruhi “bagian punggung” suatu atom karbon yang sedang mengalami penggantigugusan, sehingga melindungi serangan pereaksi nukleofil; oleh karena itu, serangan hanya dapat terjadi “dari depan” dan menyebabkan konfigurasi terjaga. Hidrolisis basa 1,2-khlorohidrin (34) ternyata menghasilkan 1,2-diol (35) dengan konfigurasi tetap (terjaga):

            Serangan awal oleh basa pada (34) menghasilkan anion alkoksida (36), kemudian serangan dalam oleh RO- ini menghasilkan epoksida (37) dengan pembalikan konfigurasi pada C* (zat-antara bentuk cincin ini terkadang dapat diisolasi). Pada gilirannya, atom karbon* mengalami serangan SN2 biasa oleh OH, disertai pembalikan konfigurasi lagi (kedua) pada atom C*. Akhirnya, anion alkoksida kedua ini (38) menarik suatu proton dari pelarut dan menghasilkan produk 1,2-diol dengan konfigurasi yang sama dengan bahan awalnya (35). Konfigurasi yang teramati ini sebenarnya merupakan hasil dua kali pembalikan secara berturut-turut.

            Contoh lain yaitu oksigen yang berfungsi sebagai gugus tetangga yang terjadi pada hidrolisis anion 2-bromopropanoat (39) padaOH rendah, yang ternyata juga berlangsung dengan konfigurasi terjaga (40). Lajunya ternyata tak bergantung pada OH dan reaksinya sebagai berikut:

Apakah zat-antara (41) merupakan zwitterion seperti tercantum


Ataukah suatu lakton-α (41a) yang sangat tidak mantap belum dapat ditegaskan. Jika kepekatan nukleofil OH ditingkatkan, maka “serangan dari balik punggung” pada SN2 normal disertai pembalikan konfigurasi pun terjadi.

            Gejala/pengaruh gugus tetangga juga teramati pada atom selain oksigen misalnya belerang dan nitrogen, juga pada keadaan-keadaan yang meskipun tidak ada hubungannya dengan stereokimia tetapi cepatnya laju reaksi menunjukkan terjadinyaperubahan jejak-reaksi. Jadi EtSCH2CH2Cl (42) mengalami hidrolisis 10­­4 kali lebih cepat daripada EtOCH2CH2Cl (43) dalam keadaan mirip dan hal ini ditafsirkan karena terlibatnya S: sebagai gugus tetangga:

Sebaliknya, O: dalam (43) cukup elektronegatif sehingga tak menyumbangkan pasangan elektron, jadi hidrolisis EtOCH2CH2Cl berlangsung lewat serangan SN2 biasa oleh nukleofil-luar-yang jauh lebih lambat daripada serangan nukleofil-dalam pada (42) -> (44). Garam sulfonium lingkar seperti (44) terlibat; hal ini jelas diperlihatkan oleh hidrolisis senyawa analognya (45) yang menghasilkan dua alkohol (yang tidak disangka  justru dalam jumlah banyak) yang menyatakan adanya peranserta zat-antara tak simetrik (46):

                Ternyata pula N: dapat bertindak sebagai gugus tetangga dalam keadaan serupa misalnya hidrolisis Me2NCH2CH2Cl, akan tetapi lajunya jauh lebih lambat daripada (42) tadi (dalam keadaan mirip) karena lebih mantapnya zat antara ion imonium lingkar yang berkaitan dengan (44). Jenis-jenis lingkar semacam itu terbentuk selama hidrolisis dalam gas gelak/kesturi (mustard gas), S(CH2CH2Cl)2 serta senyawa-senyawa nitrogen yang berkaitan misalnya MeN(CH2CH2Cl)­2 : garam-garam imonium lingkar yang diturunkan dari yang terakhir ini juga merupakan neurotoksin yang amat kuat. Sistem orbital π cincin benzena juga dapat bertindak sebagai gugus tetangga.

4.5 PENGARUH GUGUS MASUK DAN GUGUS KELUAR

4.5.1 Gugus masuk

Dengan mengubah pereaksi nukleofil yang dipergunakan, yakni yang berfungsi sebagai gugus masuk, tidak akan mengubah langsung laju reaksi pemindahan penggantian SN1 karena pereaksi semacam itu tidak mengambil bagian dalam tahapan penentu-laju keseluruhan reaksi. Akan tetapi dalam pemindahan gugus SN2, makin nukleofil pereaksinya maka akan makin ditingkatkanlahr reaksinya. Kenukleofilan pereaksi dapat diharapkan untuk bertimbal kait dengan kebasaannya, karena keduanya menyangkut ketersediaan pasangan elektron serta kemudahannya untuk disumbangkan. Tetapi kesejajaran itu ternyata tidak tepat benar karena kebasaan menyangkut sumbangan pasangan elektron ke hidrogen sedangkan kenukleofilan menyangkut sumbangan pasangan elektron kepada atom lain, acapkali karbon. Kebasaan menyangkut keadaan kesetimbangan (termodinamika) yaitu ∆G, sedangkan kenukleofilan biasanya bersangkutpaut dengan keadaan kinetikanya yaitu ∆G. Kebasaannya hanya sedikit saja dipengaruhi oleh faktor sterik, sedangkan kenukleofilan dapat sangat besar terpengaruhnya.

            Pembedaan ini sampai batas tertentu mengikuti dan bersesuaian dengan konsep basa kuat (keras) dan basa lemah (lunak): basa kuat ialah basa yang atom penyumbangnya berkeelektronegatifan tinggi, berketerkutuban rendah, dan sukar dioksidasi, sedangkan basa lemah ialah yang atom penyumbangnya berkeelektronegatifan rendah, keterkutubannya tinggi, dan mudah dioksidasi. Untuk derajat kebasaan tertentu, kelunakan dapat meningkatkan kenukleofilan. Data kebasaan justru lebih sering dan lebih mudah diperoleh, juga dapat dipergunakan sebagai kenukleofilan asal pembandingnya dilakukan terhadap yang bersepadan. Jadi jika atom penyerangnya sama maka keduanya sangat sesuai sehingga makin kuat basanya maka makin bersifat nukleofil:

Geseran jenis mekanistik ternyata dapat pula terjadi jika nukleofilnya diubah. Misalnya pemindahan SN1 pada H2O:, HCO3, MeCO2 dan sebagainya dapat berubah menjadi SN2 jika dengan OH atau EtO

            Kenukleofilan sangat dipengaruhi oleh ukuran atom penyerang dalam nukleofil, setidaknya bila dibandingkan dengan kelompok atau subkelompok termaksud dalam Daftar berkala. Dengan demikian, diperoleh:

Ukuran, disamping keelektronegatifan, dapat juga menentukan keterkutuban/kemengutuban dengan bertambah besarnya ukuran maka menurunlah “daya genggam” inti atas elektron pinggiran (perifer) hingga lebih mudah terkutubkan, akibatnya ikatan akan lebih mudah terbentuk pada pemisahan antar inti yang lebih besar. Demikian pula, makin besar ion atau gugus nukleofil, makin kecil energi solvasinya, jadi makin mudah berubah menjadi nukleofil yang berhasil guna dan tak tersolvasi; sehingga panas hidrasi I dan F adalah 284 dan 490 kJ mol. Gabungan faktor-faktor inilah yang menyebabkan ion iodida yang besar, mudah terkutub dan sukar tersolvasi itu merupakan nukleofil yang jauh lebih baik daripada ion fluorida, yang kecil, sukar terkutub dan mudah tersolvasi (ikatan hidrogen dengan pelarut hidroksilat). Maka dapat diharapkan bahwa peningkatan laju pada perubahan pelarut hidroksilat menjadi tak-protik (I) akan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Br atau Cl. Hal ini benar teramati karena Br merupakan nukleofil yang lebih baik daripada I dalam Me2CO.

            Ada lagi hal yang menarik, yakni dalam kaitannya dengan nukleofil yang memiliki lebih dari satu – biasanya dua – atom yang memadai sebagai sarana untuk penyerangan substrat, yaitu nukleofil ambiden (“mendwi-waja”, “mendua-gigitan”):

Ternyata dalam praktek ditemui bahwa pada reaksi-reaksi SN1 amat mengutub serangan berlangsung pada zat-antara karbokationik, R+, lewat atom dalam nukleofil yang lebih besar rapatan elektron-nya. Misalnya pada halida-halida yang tidak segera mengalami serangan SN1 dapat ditingkatkan dengan menggunakan garam perak anionnya, misalnya AgCN, karena Ag+ meningkatkan terbentuknya R+ dengan pengendapan AgHAl:

Dengan tiadanya peningkatan oleh Ag+ itu, misalnya pada Na+ (CN) -, maka reaksi SN2 yang terjadi akan berjalan dengan serangan terpilih pada atom dalam nukleofil yang lebih terkutub:

Hal ini dapat dipahami karena tidak sebagaimana SN1, pembentukan ikatan terjadi pada KP sebagai tahapan penentu-lajunya, yang mana keterkutuban atom ikatan nukleofilnya memegang peranan penting, yatu mulainya terbentuk ikatan pada pemisahan antarinti sejauh mungkin. Dikotomi AgCN/NaCN ini telah lama dimanfaatkan untuk keperluan preparatif. Hal serupa, pada ion nitrit (NO2)ternyata membentuk alkil nitrit R-O-N=O pada keadaan SN1 (rapatan elektron atom O lebih besar) dan nitroalkana R-NO2 pada keadaan SN2 (N merupakan atom yang lebih mudah terkutubkan).

4.5.2 Gugus Pergi

Dengan mengubah gugus pergi berarti akan mengubah laju reaksi SN1 maupun SN2 karena pemutusan ikatan ke gugus pergi berkaitan dengan tahapan yang lambat yaitu tahapan penentu-laju untuk keduanya. Kita memperkirakan kemampuan nisbi Y sebagai gugus pergi pada R-Y dipengaruhi oleh: (a) kekuatan ikatan R-Y; (b) keterkutuban ikatan ini; (c) kemantapan Y-; dan (dihubungkan dengan yang terakhir) (d) derajat pemantapan lewat solvasi Y- dalam KP untuk SN1 maupun SN2.

Urutan kereaktifan (SN2 atau SN1) yang diamati untuk halida:

R – I  >  R – Br  >  R – Cl  >  R – F

Memberi kesan bahwa (a) dan (b) diatas mungkin lebih penting daripada (c) dan (d). Untuk gugus pergi potensial yang lain pengaruh (c) menunjukkan bahwa makin lemah Y- sebagai basa (atau makin kuat H-Y sebagai asam) menghasilkan gugus pergi yang lebih baik. Ini terbukti bahwa sampai tingkat tertentu dari suatu urutan gugus pergi dimana atom di dalam Y melalui mana ia berikatan dengan R akan sama. Jadi anion dari “asam oksigen” kuat sepeerti p-MeC6H4SO3-, CF3SO3- merupakan gugus pergi yang baik(seperti halnya anion halida); dengan gugus o, (c) dan (d) diatas lebih berpengaruh. Kemampuan nisbi gugus pergi bagaimanapun juga dapat berubah dengan penggantian pelarut, menunjukkan pengaruh (d). Perubahan dalam kemampuan nisbi ini terutama ditandai pada penggantian dari pelarut hidroksilat menjadi pelarut dwikutub non-protik Imisalnya Me2SO, HCONMe2 dan sebagainya) yang semula lebih ditonjolkan oleh kendali (c)/(d) bergeser menjadi (a)/(b).

            Tingginya derajat keterkutuban menjadikan I- sebagai gugusan masuk dan gugus pergi yang baik, oleh karenanya sering dipergunakan sebagai katalis untuk meningkatkan reaksi-reaksi pemindahan yang biasanya lambat, misalnya:

Inilah yang disebut sebagai katalis nukleofil. Jika gugus pergi merupakan basa yang lebih kuat dan keras, maka akan makin sukar untuk dipindah; jadi gugus-gugus seperti OH, OR, NH2 yang terikat pada karbon oleh atom-atom elektronegatif yang kecil dengan keterkutuban rendah tidak dapat dipindah langsung oleh nukleofil-nukleofil lain.

            Pemindahgugusan yang sukar atau bahkan tidak mungkin dilakukan secara langsung, terkadang dapat terjadi dengan mengubah potensial gugus pergi-dengan protonasi (pemrotonan)-sehingga membuat lebih lemah dan/atau lebih lunak selaku basa. Sebagai contoh, OH mustahil untuk dipindahkan langsung oleh Brakan tetapi dengan mudah dapat dipindahkan jika diprotonasi terlebih dulu:

Ada dua alasan utama tentang hal ini : (a) Br ini akan menyerang jenis yang bermuatan positif, bukan netral; (b) H2O yang merupakan basa amat lemah merupakan gugus pergi yang jauh lebih baik daripada OH yang merupakan basa kuat. Pemakaian HI yang amat populer dalam memecah eter beranjak dari sifat I- yang merupakan jenis paling nukleofil yang dapat dihasilkan dalam larutan asam kuat yang diperlukan untuk protonasi (pemrotonan) awal:

4.6.    PEMINDAHGUGUSAN NUKLEOFIL LAIN

Dalam diskusi tentang nukleofil pada atom karbon jenuh ini, perhatian kita jendrung ditujukanpada serangan anion nukleofil Nu: terutama OH, terhadap jenis netral yang terkutubkan, terutama alkil halide, +R-Hal-. Pada kenyataannya, pemindahangugusan umum ini selain berkaitan dengan serangan itu, juga karena serangan oleh nukleofil tak-bermuatan (non charged) Nu: terhadap jenis netral terkutubkan, anion nukleofil pada:

Jenis bermuatan positif, serta nukleofil tak-bermuatan pada

Jenis-jenis yang bermuatan positif ( N2 mungkin merupakan gugusan pergi yang terbaik)

Telah diutarakan pula bahwa gugus-gugus pergi yang baik selain ion halide, adalah misalnya anion tosilat (bdk. hlm. 117)

Serta gugus pergi dalam (internal; bdk. hlm. 124)

Adapula sekelompok reaksi pemindah nukleofil yang cukup penting secara sintetik (preparative)yang atom nukleofil penyerangnya adalah suatu karbon yaitu karbanion (hlm.382)atau suatu sumber karbon yang terkutub negatif(bdk.hlm.292'),sehingga  menghasilkan ikatan karbon-karbon baru:

Pentingdiingat bahwa padacontoh-contoh diatas,serangan nukleofildipandangdarisatu, pemeran serta dapat saja merupakan serangan elektrofil ditinjau dari segi zat pemeran serta lainnya.Jadi gambaran tentang proses secara keseluruhan dapat dikatakan "mana suka"(arbitrary),yang juga mencerminkan pra konsepsi tentang penyusunan suatu pereaksi jika dibandingkan dan dilawankan dengan suatu substrat.

Tidak mengherankan, bahwa tidak semua reaksi pemindahgugusan nukleofil terjadi dan menghasilkan 100% produkSebagaimana dalamhal-hal lain disini selalu terjadi reaksi-reaksi sampingan yang mana dalam tujuan preparative kurang dikehendaki. Reaksi sampingan yang penting ialah penyingkirgugusan (eliminasi).